Hukum

Komnas Ham Harus Hentikan Proses dan Gugurkan Pengaduan Pegawai KPK Non Aktif Akibat TWK

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, SH (*)

Oleh: Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus,SH.

Pengaduan 75 Pegawai KPK Nonaktif tentang dugaan pelanggaran HAM oleh Pimpinan KPK kepada Komnas HAM, akibat Keputusan Pimpinan KPK menonaktifkan 75 Pegawai KPK karena tidak lolos seleksi TWK, menimbulkan reaksi pro dan kontra di publik hingga terjadi kegaduhan di tengah Masyarakat.

Kegaduhan terjadi lantaran Komnas HAM telah bertindak sewenang-wenang dan menjadikan Keputusan Penonaktifan 75 Pegawai KPK yang tidak lulus TWK, sebagai pelanggaran HAM. Padahal Surat Keputusan Pimpinan KPK dimaksud sebagai “Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara” yang dapat dikualifikasi sebagai “sengketa kepegawaian” dan masuk ruang lingkup kewewenangan PTUN.

Sementara itu, pada saat ini Wadah Pegawai KPK atas nama 75 Pegawai KPK Nonaktif tengah mengajukan upaya hukum berupa Permohonan Uji Materil ke MK, beberapa pasal (pasal 24 dan pasal 69C UU No. 19 Tahun 2019, Tentang KPK), terhadap UUD’ 1945,   terkait    dengan Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Di sini MK merupakan pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya terdapat upaya hukum untuk itu.

Gugurkan Pengaduan

Sesuai ketentuan pasal 91 UU No. 39 Tahun 1999, Tentang HAM, di situ dikatakan bahwa pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilanjutkan atau dihentikan, antara lain : materi pengaduan bukan pelanggaran HAM; pengaduan diajukan dengan itikad buruk; terdapat upaya hukum yang lebih efektif; dan sedang terjadi penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai UU.

Dalam kaitan ini, maka terdapat 4 alasan bagi Komnas HAM untuk menggugurkan Pengaduan 75 Pegawai KPK Nonaktif:

a. Materi pengaduan bukan pelanggaran HAM, karena 1.357 Pegawai KPK yang belum menjadi ASN diberi kesempatan yang sama, ikut TWK dan hasilnya 75 Pegawai KPK lainnya dinyatakan tidak lolos TWK oleh BKN, sedangkan 1.274 Pegawai KPK lainnya yang lolos TWK telah dilantik menjadi ASN Pada KPK sesuai amanat UU.

b. Pengaduan 75 Pegawai KPK dilandaskan pada itikad buruk, karena mereka sesungguhnya tahu bahwa Komnas HAM tidak memiliki wewenang untuk membatalkan Keputusan Pimpinan KPK soal Penonaktifan 75 Pegawai KPK dan Keputusan BKN tentang 75 Pegawai KPK yang tidak lolos TWK.

c. Terdapat upaya hukum yang efektif, dimana Negara menyiapkan berbagai upaya hukum dan sarananya yaitu gugatan, banding, kasasi dan PK melalui Badan Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Peradilan Umum, dll. yang berpuncak di Mahkamah Agung dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sebagai organ pelaksana kekuasan Kehakiman.

d. Saat ini, sedang terjadi penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia, sebagaiman terbukti saat ini 75 Pegawai KPK nonaktif tengah mengajukan upaya hukum berupa Permohonan Uji Materiil ke MK guna membatalkan pasal 24 dan pasal 69C UU No. 19 tahun 2019, Tentang KPK terhadap UUD 1945.

Atas dasar 4 alasan itu, maka Komnas HAM seharusnya sejak awal menyatakan diri “tidak berwenang” memproses dan “menghentikan” seluruh tahapan/proses pemeriksaan yang sedang berjalan, dan “menggugurkan” Pengaduan 75 Pegawai KPK Nonaktif berdasarkan ketentuan pasal 91 UU No. 39 Tahun 1999, Tentang HAM, karena peristiwa yang terjadi bukan merupakan pelanggaran HAM.

Fakta-fakta Pendukung

Obyek Pengaduan 75 Pegawai KPK Nonaktif adalah, Surat Keputusan Tidak Lolos TWK dari BKN dan Surat Keputusan Penonaktifan 75 Pegawai KPK dari Ketua KPK” kualifikasinya sebagai “penetapan tertulis yang menimbulkan akibat hukum”, yaitu 75 Pegawai KPK telah kehilangan kedudukan sebagai bagian dari Pegawai KPK dengan segala akibat hukumnya.

Keputusan Pejabat TUN yang demikian, hanya boleh dibatalkan oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri melalui upaya hukum gugatan atau melalui “pembatalan” oleh Pejabat yang mengeluarkan Keputusan (BKN atau Pimpinan KPK) berdasarkan asas contrarius actus.

Harus diingat bahwa Hak dan kebebasan yang diatur di dalam UU No. 39 Tah7n 1999 Tentang HAM hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa (pasal 73 UU HAM).

Dengan demikian, membawa persoalan Penonaktifan 75 Pegawai KPK ke Komnas HAM, bukanlah upaya hukum yang efektif dan bukan upaya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, melainkan upaya politik untuk menutup borok-borok lama di KPK, karena Komnas HAM bukanlah Badan Peradilan, sehingga tidak memiliki kompetensi untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum. (*)

To Top