Budpar

Moeldoko Buka Festival Pasola, Kunjungi Desa Adat dan Motivasi Petani Sumba Barat Daya

Kepala Staf Kepresidenan RI Dr. Moeldoko bersama Bupati Sumba Barat Daya dan tokoh adat, pada gelaran festival Pasola, di Rara Winyo Desa Ate Ndalo kecamatan Kodi, Jum'at (25/2) pekan lalu.

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Dr. Moeldoko kembali berkunjung ke Pulau Sumba, Provinsi NTT. Setelah beberapa bulan lalu mengunjungi masyarakat Waingapu di Kabupaten Sumba Timur, kali ini Moeldoko mengunjungi Kabupaten Sumba Barat Daya. Kedatangannya disambut hangat pemerintah dan masyarakat yang telah lama ingin melihat dari dekat sosok mantan Panglima TNI yang tegas nan rendah hati itu.

Di hari pertama kunjungannya, Moeldoko membuka dan menyaksikan Festival Pasola yang diikuti ratusan Ksatria Sumba yang datang menunggang kuda dan berperang dengan lembing kayu di tangan. Festival Pasola tahun ini kembali dihelat setelah sempat terhenti karena Pandemi Covid-19.

Festival Pasola yang telah menjadi tradisi budaya tahunan masyarakat Sumba, tahun ini digelar dalam suasana yang terasa beda dari tahun-tahun sebelumnya. Kehadiran KSP Moeldoko membuat pesta yang penuh dengan semangat perjuangan terasa sangat meriah.

Moeldoko mengaku sangat gembira dapat hadir menyaksikan Pasola. Kepada masyarakat Sumba sebagai pemilik dan pewaris tradisi Pasola, Moeldoko berpesan agar terus melestarikan Pasola. “Budaya jangan diusik atas nama apapun,”pesan Moeldoko membakar semangat para ksatria Sumba yang disambut dengan pekik perang, pekan lalu.

Sementara itu, di hadapan para tokoh adat dan ratusan ksatria berkuda, Moeldoko menyampaikan salam dan apresiasi dari Presiden Joko Widodo untuk masyarakat adat Sumba Barat Daya. “Bapak Presiden Joko Widodo menitipkan salam untuk semua masyarakat adat di sini. Beliau berpesan tradisi budaya seperti Pasola harus dijaga dan dipertahankan,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Moeldoko juga memberikan hadiah patung kuda dari ukiran kayu kepada Rato Adat (tokoh Adat di Sumba). Patung kuda tersebut menurutnya adalah simbol kegagahan ksatria Pulau Sumba.

Festival Pasola di Kabupaten Sumba Barat Daya, dipusatkan di Rara Winyo Desa Ate Ndalo Kecamatan Kodi. Sebelum masa pandemi, atraksi budaya tradisional ini, selalu menjadi agenda para wisatawan dunia.  Festival Pasola ini adalah tradisi perang masyarakat adat dengan menunggang kuda sambil menyerang lawan dengan lembing kayu yang tumpul.

Lebih jauh, Pasola merupakan puncak dari rangkaian tradisi Nate atau Nyale, yakni perwujudan pemujaan dan persembahan masyarakat tradisional aliran kepercayaan Marapu (agama asli masyarakat Sumba).  Pasola juga adalah wujud syukur atas hasil panen. Karena itu, setiap tradisi ini digelar masyarakat berbondong-bondong mudik ke kampung adatnya, dengan membawa beragam hasil panen terbaik dan terbaru, untuk dijadikan sarana doa.

Pemerintah Komit Soal Pelestarian Desa Adat

Selain membuka Festival Pasola, Moeldoko juga  mengunjungi desa adat Ratenggaro, Wainyapu, Manola, Mbuku Bani, dan Tossi. Dalam kunjungan itu, Moeldoko mendapatkan informasi dari warga yang mulai merasa kwatir dengan keberadaan desa mereka. Kekwatiran itu disebabkan oleh jumlah penduduk yang makin bertambah dan tak lagi seimbang dengan penambahan rumah adat baru.

Menyikapi kondisi tersebut, KSP Moeldoko memastikan akan mendorong kementerian teknis segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat, terkait pembangunan rumah-rumah adat baru. Menurutnya, pemerintah sangat berkomitmen melakukan pembangunan rumah adat baru.

“Pelestarian desa adat harus terus dijaga. Dan Pemerintah komitmen soal itu. KSP akan dorong kementerian teknis terkait untuk segara melakukan pembangunan rumah adat baru di Sumba Barat Daya),” tegasnya saat berkunjung ke desa adat Ratenggoro, Kecamatan Kodi Bangedo pekan lalu.

Sebelumnya, tokoh muda desa adat Ratenggoro, Adi Mada, menceritakan berbagai kendala yang dihadapi masyarakat terkait pembangunan rumah adat baru. Ia menyinggung soal langkanya material, kayu gelondongan Merbau. “Sekarang yang banyak kayu-kayu balok pendek. Yang gelondongan sudah sulit kami temukan,” katanya.

Adi Mada juga menyebut pembangunan rumah adat baru membutuhkan biaya sangat besar, terutama untuk prosesi ritual. Ia mencontohkan, keperluan untuk membeli makanan dan hewan sebagai media pemujaan. “Kalau dihitung bisa sampai 500 juta,” ungkapnya.

Adi Mada meminta agar pemerintah memikirkan potensi ancaman abrasi terhadap desa adat Ratenggaro. Mengingat, lokasi desa berada persis di bibir pantai. “Jika tidak dibangun penahan, abrasi bisa mengancam kampung kami bapak,” sambungnya.

Beri Resep Petani Cepat Kaya

Selain mengunjungi desa adat Ratenggaro, Wainyapu, Manola, Mbuku Bani, dan Tossi, Moeldoko yang juga sebagai Ketua Umum DPP Himpinan Kerukunan Tani (HKTI) juga mengunjungi para petani di desa Anaengge Kecamatan Kodi. Di desa yang datar dan subur tersebut diharapkan dapat menjadi tulang punggung pertanian untuk kabupaten Sumba Barat Daya.

Di lokasi tersebut baru dilakukan pembukaan lahan baru seluas tiga ribu hektare. Namun sampai saat ini, lahan yang tergarap baru seribu hektare. Irigasi yang tak merata menjadi persoalan utama. Moeldoko sangat menyayangkan kondisi tersebut. Dia berharap pemerintah daerah dapat menyelesaikan persoalan irigasi tersebut.

“Saya harap pemerintah daerah setempat segera bisa menyelesaikan persoalan irigasi ini. Sayang sekali, potensi yang begitu besar tidak dimanfaatkan dengan maksimal,” kata Moeldoko saat bertemu petani desa Anaengge.

Untuk diketahui, desa Anaengge dan beberapa desa lainnya di Sumba Barat Daya, rata-rata memiliki sumber air melimpah. Hanya saja, pengaliran sumber air ke lahan pertanian tidak merata. Pembangunan pipa-pipa untuk irigasi tidak bisa menjangkau ke seluruh lahan milik petani. Pemerintah daerah Sumba Barat Daya mengaku tidak banyak memiliki anggaran.

Menyikapi masalah itu, Moeldoko mengatakan, persoalan irigasi menjadi atensi Presiden Joko Widodo. Sebab, selama ini produksi pertanian dirasa kurang maksimal karena persoalan pengairan. Karena itu, kata Moeldoko, pembangunan bendungan masuk dalam program prioritas nasional.

“Pemerintah pusat -gencar membangun bendungan untuk mengatasi masalah irigasi. Harusnya ini menjadi pendorong bagi pemerintah-pemerintah di daerah untuk melakukan hal yang sama. Saya akan sampaikan kepada kementerian teknis terkait, agar bisa mendorong pembangunan irigasi di sini,” tegasnya.

Ia mengajak para petani untuk meninggalkan pola-pola lama dalam mengelola lahan pertanian. Diantaranya dengan melakukan pengelolaan yang profesional, terutama dalam mengitung biaya-biaya operasional yang dikeluarkan. Menurutnya, selama ini kehidupan ekonomi petani tidak banyak berubah karena dalam penggarapan lahan mulai dari produksi hingga pasca produksi mengalir begitu saja, tanpa ada banyak perhitungan.

“Masalah utama petani ya tidak mau berhitung. Mulai biaya produksi yang dikeluarkan seperti tenaga kasarnya, pupuknya, bibitnya atau yang lain. Jadi Ketika panen kaget, loh untungnya kok segini. Ini harus di rubah agar petani bisa kaya,”pesan Moeldoko.

Untuk diketahui pula, pertanian menjadi sektor ekonomi unggulan Kabupaten Sumba Barat Daya. Dari 400 ribu jiwa lebih masyarakatnya, 85 persennya adalah petani penggarap lahan untuk tanaman padi dan jagung. (bkr/Ksp)

Komentar Anda?

To Top